Warung tegal kini menjadi sebuah fenomena yang aktual di tanah air. Semua orang membicarakannya, tidak hanya kalangan eksekutif dan legeslatif yang berkepentingan terhadap masalah itu, namun masyarakat umum pun juga sibuk mempolemikannya.Entah apa yang mereka bicarakan. Itu tak penting. Ini merupakan sebuah bentuk empati dari masyarakat kalangan bawah tentang pemberlakuan pajak bagi warung tegal yang menurut mereka belum layak di kenai pajak.
Kitapun tak bisa menyalahkan masyarakat, karena memang beban hidup makin menghimpit mereka. Mereka tak punya banyak ruang untuk bersuara dan mengadukan berbagai permasalah yang menghimpitnya. Meskipun para wakil rakyat siap menampung suara mereka, nyatanya harapan mereka tidak semua terealisasikan.
Meski banyak ditentang oleh kalangan pengusaha warteg, masyarakat, dan para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), namun Pemda DKI Jakarta, tetap memberlakukan pajak restoran dan rumah makan kepada pelaku usaha warung tegal mulai 1 Januari 2011. Pemberlakuan pajak tersebut bukan tanpa alasana karena DPRD DKI Jakarta telah menyetujuinya.
Besaran pajak untuk warung tegal yang akan diberlakukan sebesar 10 % karena jenis usaha ini sudah masuk dalam prasyarat obyek pajak menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sementara berdasar UU Nomor 28 Tahun 2009 yang masuk klasifikasi sebuah restoran yaitu fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. Obyek pajak yang masuk dalam wajib pajak adalah usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp 60 juta per tahun. Jadi warung tegal yang memiliki penghasilan Rp. 60 juta akan dikenai pajak.
Sebelum orang ramai membicarakan warung tegal, keberadaannya sudah ada sejak lama. Warung tegal merupakan salah satu jenis usaha gastronomi yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Warung tegal kemudian dikenal dengan sebutan warteg. Warung ini identik dengan warung makan masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebagian besar warungnya berada di pinggir jalan, baik yang berada di Kota Tegal maupun tempat lain.
Warung tegal pada awalnya banyak dikelola oleh masyarakat dari tiga desa di Tegal yaitu, warga Desa Sidapurna, Sidakaton, dan Krandon, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Mereka mengelola warung tegal secara bergiliran antar keluarga dalam satu ikatan famili setiap 3 hingga 4 bulan. Yang tidak mendapat giliran mengelola warung biasanya bertani di kampung halamannya. Pengelola warung tegal di Jakarta yang asli orang Tegal biasanya tergabung dalam Koperasi Warung Tegal, yang populer dengan singkatan Kowarteg.
Hidangan-hidangan di warteg pada umumnya bersifat sederhana dan tidak memerlukan peralatan dapur yang sangat lengkap. Nasi goreng dan mi instan hampir selalu dapat ditemui, demikian pula makanan ringan seperti pisang goreng, minuman seperti kopi, teh, dan minuman ringan.Beberapa warung tegal khusus menghidangkan beberapa jenis makanan, seperti sate tegal dan gulai serta teh poci, minuman khas tegal.
Yang unik dari bisnis Warteg ini, meski melayani masyarakat menengah ke bawah, hasil yang didapatkan cukup besar. Hal ini terbukti dari tingkat ekonomi para pengusaha warteg yang cukup membanggakan. Di Kelurahan, Sidapurna, Sidakaton, dan Krandon kita tidak perlu heran menyaksikan rumah-rumah mewah dibangun di sana. Rumah-rumah itu kebanyakan milik para pengusaha warteg yang membuka usaha di Jakarta.
Salah satu pengusaha warteg yang berhasil adalah H Karjo. Pria asal Kelurahan Kalinyamat Kulon, Margadana, Kota Tegal ini merupakan salah satu orang terpandang di desa asalnya, mobil mewah berjajar di garasi rumahnya, demikian pula dengan rumahnya telah disulap bagai istana senilai lebih dari satu miliar.
Sukses yang diraih H Karjo melalui jalan panjang dan berliku. Ia kali pertama merantau ke Jakarta pada 1972. Sebelum membuka usaha warteg, ia menjadi pedagang asongan. Kini ia memiliki tiga warteg, di Kemurnian, Jakarta Barat, dan Glodok.
Penyajian di warteg begitu sederhana, yaitu dengan menata makanan secara prasmanan, sehingga kita dapat mengambil sendiri pilihan hidangan. Adapun hidangan yang disajikan di warteg bervariasi dan sederhana, terdiri dari sayur-sayuran seperti sayur tahu, kacang merah, dan soto, lauk pauk yang disajikan seperti tempe, tahu, perkedel, ayam goreng, ikan, remis, dan jeroan ayam.
Banyaknya pendatang dari daerah ke Jakarta tentu menjadi alasan utama mengapa warteg makin bertambah jumlahnya dan makin kuat eksistensinya. Dalam arti, banyak dari mereka yang bekerja di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, tukang becak, sopir bus. Selain itu, target konsumen mereka adalah para mahasiswa daerah yang indekos. Tidak heran kalau di daerah kampus, warteg dapat dicari dengan mudah.
Anda ingin berbisnis warteg? Bisnis warteg cukup menguntungkan. Bayangkan jika sebuah warteg perhari mampu meraup keuntungan Rp. 250 ribu, maka sebulan untung Rp. 7,5 juta. Maka per tahun meraup untung Rp. 90 juta. Hmmm sebuah angka yang cukup besar.
Tips memulai usaha warteg :
- Persiapan mental untuk menghadapi tantangan ketakutan dan keraguan akan kegagalan. \
- Pilih tempat yang strategis. Usahakan di pingir jalan, karena sebagian besar usaha warteg berlokasi di pinggir jalan.
- Mengurus izin usaha dari RT/RW maupun keamanan setempat.
- Tetapkan sasaran pembeli.
- Lakukan analisis pesaing, dengan mendidentifikasi pesaing yang sudah terlebih dahulu melakukan kegiatan usaha. Kemudian lakukan analisis secara sederhana.
- Siapkan menu makanan yang bervariasi dengan harga yang murah.
- Modal awal yang mencukupi
- Lakukan pengorganisasian usaha jelas, siapa mengerjakan apa.
- Mengetahui daftar belanja bahan baku.
- Tetapkan biaya-biaya, seperti biaya tenaga kerja, biaya peralatan, biaya listrik, biaya air bersih, biaya bahan bakar, dan lain-lain.
Referensi: Majalah Pengusaha Muslim, Edisi Januari 2011: Strategi bisnis, (http://majalah.pengusahamuslim.com/)
Artikel www.PengusahaMuslim.com
Posting Komentar