Jam beker Ken Siri berdering pukul 6.30 dan kemudian ayah tunggal ini mengisi waktu beberapa jam ke depan untuk memandikan, memakaikan baju, dan membuat makanan untuk anaknya Alex (15 tahun) yang menyandang autisme. Makanan yang disiapkan pun harus khusus dan mengikuti aturan-aturan tertentu karena Alex juga menderita kolitis ulseratif (peradangan kronis dari usus besar (kolon) sampai menimbulkan ulserasi). Sebagai seorang ayah, Ken adalah sosok ayah yang super hebat karena ia merawat anak tunggalnya dengan penuh kasih sayang.
Kehidupan Ken dan Alex Dibuat Film Dokumenter
Dilansir dari huffingtonpost.com, Ken harus membantu anaknya untuk memenuhi semua kebutuhannya. Ketika Alex berangkat ke sekolahnya di Manhattan dengan bus lalu baru kembali pada pukul 3 sore, Ken harus menyelesaikan semua pekerjaannya dan menuntaskan semua keperluan rumah tangga. Kehidupan Ken dan Alex ini didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter berjudul "Bid Daddy Autism".
Ken
menjelaskan bahwa dalam film dokumenter yang diproduseri oleh Aaron
Feinstein ini ia ingin menunjukkan pentingnya keterlibatan ayah dalam
membesarkan anak. "Saya ingin memperlihatkan bahwa sosok ayah
seharusnya, bisa, dan perlu dilibatkan lebih dari sekadar persepsi yang
selama ini ada di masyarakat," jelas Ken.
Alex Pertama Kali Didiagnosis Menderita Autisme pada Tahun 2002
Alex pertama kali didiagnosis menderita autisme pada tahun 2002. Setahun sebelumnya, ketika ia berusia 3 tahun ia mengatakan, "Matikan televisinya, itu menakutkan," kepada orang tuanya saat melihat runtuhnya menara pada peristiwa 9/11. Namun dua bulan kemudian, kemampuan bicaranya menurun. Hingga setahun kemudian, kemampuan bicaranya benar-benar hilang semua.
Saat dokter mengatakan bahwa Alex menderita autisme, Ken sempat bertanya-tanya, "Apa itu autisme? Apa yang bisa kita lakukan?" Saat itu Ken sudah bercerai dengan ibu Alex. Dan sejak saat itu, Alex harus pulang pergi dari New York tempat tinggal ayahnya dan D.C. tempat tinggal ibunya. Hingga pada akhirnya Alex memutuskan untuk tinggal bersama ayahnya Ken selamanya.
Memutuskan untuk Berhenti sebagai Analis Klinik Kesehatan
Tadinya Ken bekerja sebagai analis klinik kesehatan di Wall Street. Tapi karena ia menyadari bahwa pekerjaannya tersebut tak cukup memungkinkan untuk membagi waktu membesarkan putranya, Ken memutuskan untuk berhenti bekerja di sana. Ia lalu menjadi seorang penulis--menulis buku tentang autisme--dan mendirikan perusahaan konsultasi finansial yang ia jalankan dari rumah.
Melalui film dokumenter "Big Daddy Autism", Ken berharap kisah hidupnya bisa menginspirasi banyak orang. Ini karena di televisi, anak autis sering digambarkan sebagai anak yang aneh dan kurang cerdas. Ken ingin sekali kisah hidupnya bisa mengedukasi dan juga memberikan harapan untuk orang tua yang memiliki kondisi yang mirip dengan kondisinya.
Untuk para orang tua yang memiliki anak autis, Ken punya saran tiga kata saja: "Dampingi mereka selalu."
Memiliki anak autis yang tidak bisa bicara memang sangat berat bagi sebagian besar orang tua. Tapi Ken membuktikkan bahwa dengan selalu mendampingi sang anak dan membantunya mendapatkan pendidikan yang layak, segala sesuatunya akan terasa lebih mudah dan penuh makna.
Kini, dengan bantuan teknologi, Alex bisa berkomunikasi. Ia menggunakan aplikasi iPad bernama Proloquo2Go untuk berbicara dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Selain itu, ia juga telah mendapatkan Medicaid Waiver yang bisa memberikan semua layanan yang ia butuhkan
(Sumber: www.vemale.com)
Posting Komentar